SeputarDesa.com, Lampung – Sebuah angka mengejutkan menyeruak dari ruang rapat di Hotel Akar & Resorts, Bandar Lampung. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan yang digelar Kemendagri, disebutkan bahwa Provinsi Lampung memiliki 10.336 organisasi kemasyarakatan (ormas) berbadan hukum.
Angka itu sontak mengundang tanya sekaligus kecurigaan. Bagi sebagian pihak, data tersebut terasa janggal, bahkan nyaris mustahil. Salah satunya datang dari Junaidi Farhan, Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades), yang menyebut data itu “tidak masuk akal dan berpotensi dimanipulasi.”
“Pemerintah jangan asal sebut data. Kalau benar Lampung punya lebih dari sepuluh ribu ormas, mana wujudnya? Pemerintah daerah harus segera melakukan pendataan ulang secara akurat dan transparan, bukan berdasarkan angka yang mengawang,” tegas Junaidi di Bandar Lampung, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, klaim sepuluh ribu lebih ormas di Lampung bisa menjadi celah penyimpangan baru jika tidak diverifikasi.
“Kalau data itu dijadikan dasar penyusunan anggaran hibah ormas, risikonya besar. Data bisa dimanipulasi untuk memainkan anggaran dan mencari keuntungan,” sindirnya tajam.
Mengutip laporan Radarlampung.co.id, jumlah ormas di Indonesia kini melampaui 633.000 entitas. Dari total itu, Lampung disebut menyumbang 10.336 ormas berbadan hukum, sebuah angka yang jika dihitung, berarti satu ormas untuk tiap 80 warga dewasa.
Pertanyaannya sederhana “Apakah Lampung benar-benar menjadi provinsi dengan tingkat partisipasi sosial paling aktif di Indonesia, atau justru menjadi ladang subur bagi ormas fiktif dan ganda?”
Sejumlah pengamat sipil menilai lonjakan data ini tak bisa diterima mentah-mentah. Tanpa basis verifikasi yang jelas, angka tersebut justru menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam mengontrol ekosistem organisasi masyarakat.
Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela, yang hadir dalam rapat tersebut, mengakui pertumbuhan ormas sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Namun, ia juga memberi peringatan keras.
“Perkembangan ormas di Lampung sangat pesat, tapi jangan sampai justru menggeser fokus pembangunan dan mengganggu stabilitas daerah,” katanya.
Pernyataan itu mengisyaratkan kegelisahan tersirat, kebebasan berorganisasi yang tidak dikawal dengan baik bisa berubah menjadi kekacauan sosial, terutama jika sebagian ormas berdiri tanpa orientasi publik yang jelas, atau bahkan berafiliasi pada kepentingan politik sesaat.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, mengingatkan bahwa kebebasan berorganisasi tidak boleh dibiarkan tanpa kendali.
“Presiden sudah tegas. Kebebasan boleh, tapi bukan tanpa batas. Tertibkan yang salah, jangan biarkan berlarut,” ujar Bahtiar.
Namun di lapangan, suara publik berkata lain, pemerintah daerah tampak lebih sibuk menertibkan kritik daripada menertibkan data.
Banyak ormas diduga tidak aktif, tidak memiliki kegiatan sosial, bahkan tidak terdaftar secara resmi di lapangan, meski secara administratif tercatat sebagai penerima hibah atau program pembinaan.
Junaidi Farhan menegaskan, satu-satunya jalan untuk memulihkan kepercayaan publik adalah dengan audit menyeluruh terhadap database ormas di Lampung.
“Buka datanya ke publik. Tampilkan daftar ormas yang benar-benar ada, punya kegiatan, punya alamat. Kalau pemerintah yakin datanya benar, kenapa takut transparan?” tegasnya.
Ia menilai, data yang tidak jelas justru menjadi bom waktu bagi kepercayaan publik.
“Ketika data dimanipulasi, kebijakan jadi salah arah, dan yang dirugikan rakyat juga,” ujarnya.
Lonjakan ormas di Lampung kini bukan lagi sekadar soal angka, melainkan cermin dari kondisi tata kelola pemerintahan daerah yang rentan manipulasi. Apakah pemerintah akan memilih jalan transparansi dan pembenahan data, atau terus berlindung di balik statistik yang menggembung tanpa isi? Jika benar ada 10.336 ormas di Lampung, maka pertanyaan yang lebih tajam harus diajukan “Berapa yang nyata, berapa yang sekadar nama di atas kertas?”













