SeputarDesa.com, Jakarta — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di sektor perbankan tidak boleh berhenti hanya menjadi penggerak likuiditas perbankan. Dana jumbo tersebut harus benar-benar menyentuh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menekankan otoritas akan mengawal ketat implementasi penyaluran kredit agar selaras dengan tujuan pemerintah.
“Kita akan pastikan bahwa niat baik pemerintah untuk men-drop dana Rp 200 triliun itu bisa diimplementasikan secara baik. Termasuk perhatian anggota Dewan terkait penyaluran kredit ke UMKM, tentu menjadi concern utama kita,” tegas Dian dalam rapat bersama DPR, Kamis (18/9/2025).
Meski begitu, data OJK menunjukkan performa kredit UMKM justru melambat. Pada Juli 2025, pertumbuhan kredit UMKM hanya 1,82 persen (yoy), jauh lebih rendah dari 5,16 persen pada periode sama tahun lalu. Secara year-to-date, kredit UMKM bahkan masih terkontraksi 0,62 persen dengan porsi stagnan di angka 18,61 persen terhadap total kredit.
Sebaliknya, kredit korporasi melesat 9,59 persen (yoy) dan mendominasi lebih dari separuh portofolio kredit nasional. Kondisi ini menegaskan ketimpangan penyaluran pembiayaan yang belum berpihak pada sektor kecil-menengah.
Untuk menutup celah tersebut, OJK baru saja menerbitkan POJK Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan UMKM. Aturan ini mewajibkan bank menghadirkan produk yang lebih inovatif dan sesuai kebutuhan setiap segmen UMKM. OJK juga mendorong bank mempercepat akses melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga skema hapus tagih bagi debitur bermasalah.
Dari sisi kualitas, rasio kredit bermasalah (NPL) UMKM tercatat 4,43 persen pada Juli 2025, naik tipis dibanding Juni 4,41 persen. Namun, rasio loan at risk turun ke 12,70 persen, lebih rendah dibanding sebelum pandemi.
“Dalam menangani kredit UMKM, kuantitas dan kualitas harus seimbang. Jangan sampai penyaluran dilakukan secara masif tanpa memperhitungkan daya tahan bisnis UMKM, karena itu justru akan menimbulkan masalah baru,” kata Dian.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menyambut baik terbitnya aturan baru tersebut.
“Harapannya akses modal usaha bagi UMKM bisa lebih mudah dijangkau dengan adanya peraturan ini, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terjerat rentenir maupun pinjaman online ilegal,” ujarnya.
Dengan pengawalan ketat OJK dan regulasi anyar ini, pelaku UMKM diharapkan tak lagi menjadi penonton di tengah derasnya likuiditas perbankan. Tantangannya kini terletak pada konsistensi implementasi: apakah Rp 200 triliun dana negara benar-benar mengalir ke warung-warung kecil, bengkel pinggir jalan, hingga pengusaha menengah yang selama ini menjadi fondasi ekonomi kerakyatan.(**)