Pojok Desa

Keadilan Pajak Bumi dan Bangunan Masih Belum Menyentuh Desa

×

Keadilan Pajak Bumi dan Bangunan Masih Belum Menyentuh Desa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Zainul Arifin

Isu keadilan fiskal antara pemerintah daerah dan desa kembali mengemuka, terutama dalam hal pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan kebijakan yang berlaku saat ini, desa hanya mendapatkan sekitar 10 persen dari total penerimaan PBB, sementara 90 persen sisanya masuk ke pemerintah daerah. Sekilas, angka itu mungkin tampak wajar dalam struktur keuangan daerah, tetapi bila dilihat dari akar persoalannya, pembagian tersebut tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.

Desa sebagai sumber pajak, tapi bukan penerima manfaat utama

Objek PBB terbesar justru berada di wilayah pedesaan. Tanah-tanah pertanian, perkebunan, lahan pekarangan, hingga bangunan rumah warga desa menjadi sumber utama penerimaan pajak. Namun, ketika hasil pajak itu dibagikan, desa hanya memperoleh sebagian kecil, bahkan kadang tidak cukup untuk memperkuat kapasitas pembangunan di tingkat lokal.

Padahal, desa bukan hanya penyumbang data, tetapi juga pelaksana lapangan dalam proses pengumpulan PBB. Aparatur desa harus mendata ulang objek pajak, melakukan sosialisasi ke warga, bahkan ikut mengingatkan dan menagih pembayaran pajak. Tidak jarang, perangkat desa harus berhadapan dengan masyarakat yang keberatan karena nilai pajak naik tanpa ada peningkatan pelayanan publik yang nyata di wilayah mereka.

Baca Juga  Bupati Sidoarjo Serahkan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya kepada 768 PNS

Namun setelah semua kerja keras itu dilakukan, yang diterima desa hanyalah 10 persen dari hasilnya. Sementara 90 persen lainnya dikelola pemerintah kabupaten/kota, yang penggunaannya sering kali tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sumber pajak tersebut. Inilah yang disebut sebagai ketimpangan fiskal struktural yang telah berlangsung lama.

Beban kerja desa tidak sebanding dengan hasil

Sangat disayangkan bahwa kontribusi besar desa tidak dibarengi dengan dukungan anggaran yang sepadan. Desa harus menjalankan berbagai kewajiban administratif dan sosial, sementara dana yang diterima terbatas. Akibatnya, desa tetap tergantung pada Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari pusat, bukan pada kemampuan fiskalnya sendiri.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, yang menekankan pentingnya kemandirian dan kewenangan desa dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kemandirian itu tidak mungkin tercapai jika desa tidak diberi ruang keuangan yang memadai.

Keadilan fiskal sejatinya menuntut adanya proporsionalitas antara kontribusi dan manfaat. Jika desa berperan besar dalam mengumpulkan PBB, maka sudah sewajarnya desa juga memperoleh bagian yang lebih layak. misalnya 30-40 persen dari hasil pajak yang terkumpul di wilayahnya.

Baca Juga  Antara Kebutuhan dan Pemborosan: Menyoal Motor Baru Kepala Desa Jombang

Keadilan fiskal adalah fondasi keadilan sosial

Prinsip keadilan fiskal tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Pajak seharusnya bukan sekadar alat pungutan, melainkan instrumen pemerataan kesejahteraan. Bila hasil pajak hanya terkonsentrasi di tingkat kabupaten atau kota, sementara desa tidak merasakan manfaat langsung, maka makna keadilan sosial menjadi kabur.

Lebih dari itu, kebijakan fiskal yang tidak adil dapat menimbulkan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Pemerintah daerah yang kaya akan potensi pajak desa akan semakin kuat, sementara desa tetap lemah dan bergantung. Padahal, pembangunan sejati harus dimulai dari pinggiran, dari desa sebagai fondasi negara.

Usulan perubahan kebijakan

Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang sistem bagi hasil PBB agar lebih berpihak kepada desa. Ada beberapa langkah konkret yang dapat dipertimbangkan:

  1. Revisi porsi bagi hasil PBB. menaikkan bagian desa menjadi minimal 30-40 persen untuk memperkuat kapasitas fiskal lokal.
  2. Transparansi data PBB per wilayah agar desa dapat mengawasi berapa besar pajak yang dikumpulkan di wilayahnya dan bagaimana pembagiannya.
  3. Insentif kinerja bagi desa-desa yang berhasil meningkatkan kesadaran pajak warganya seharusnya mendapat penghargaan dan tambahan bagi hasil.
  4. Integrasi kebijakan fiskal desa agar setiap kebijakan pajak, retribusi, dan transfer daerah memiliki orientasi pemerataan yang nyata sampai ke tingkat desa.
Baca Juga  BUMDes dan Koperasi Desa Merah Putih: Antara Kedaulatan Ekonomi dan Skema Baru Penyaluran Dana Publik

Dengan langkah-langkah tersebut, keadilan fiskal tidak lagi berhenti di ruang rapat pemerintah daerah, tetapi benar-benar dirasakan oleh masyarakat di tingkat akar rumput.

Penutup: Pajak harus kembali ke rakyat desa

Keadilan dalam PBB bukan hanya persoalan administratif atau anggaran, melainkan persoalan moral dan politik keberpihakan. Pajak yang dipungut dari tanah rakyat desa seharusnya kembali dalam bentuk pembangunan yang nyata di desa: jalan yang layak, irigasi yang berfungsi, sekolah yang bagus, dan layanan publik yang memadai.

Desa adalah tempat di mana pajak itu lahir, dan karenanya desa juga berhak menjadi tempat di mana hasil pajak itu dirasakan. Selama kebijakan bagi hasil masih berat sebelah, maka semangat membangun dari desa akan tetap menjadi slogan tanpa makna.

Kini saatnya pemerintah berani mengubah arah kebijakan fiskal agar benar-benar menghadirkan keadilan untuk desa, bukan sekadar angka di laporan keuangan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!