SeputarDesa.com, Kukar — Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025. Program besar ini diperkuat dengan Inpres Nomor 17 Tahun 2025 yang menekankan percepatan pembangunan gudang fisik dan gerai koperasi di berbagai daerah.
Namun, di balik semangat besar pembangunan fisik koperasi tersebut, muncul pertanyaan mendasar, apakah yang sedang dibangun adalah koperasi sebagai organisasi rakyat, atau sekadar gedung koperasi semata?
Ketua Forum Komunitas KDMP-KKMP Kukur, Muliono, menegaskan bahwa kegagalan banyak koperasi di masa lalu bukan disebabkan oleh kurangnya fasilitas, melainkan karena lemahnya organisasi dan tata kelola yang tidak sejalan dengan prinsip dasar koperasi.
“Jika organisasinya salah, maka investasi sebesar apa pun akan salah arah,” ujarnya.
Muliono menekankan bahwa koperasi bukan proyek pemerintah, melainkan gerakan sosial-ekonomi masyarakat. Karena itu, pembangunan koperasi seharusnya dimulai dari penguatan organisasi, bukan dari pembangunan infrastruktur fisik.
“Tanpa organisasi yang hidup dan partisipatif, koperasi hanya akan menjadi lembaga kosong, gedung dengan papan nama besar, tapi tanpa jiwa dan raga anggota yang aktif,” tambahnya.
Senada dengan itu, Mahyuddin, salah satu penggerak koperasi desa, menilai bahwa koperasi adalah miniatur demokrasi ekonomi. Menurutnya, seluruh proses mulai dari perencanaan, pengadaan barang, pemilihan vendor, hingga evaluasi kinerja pemasok harus melibatkan anggota secara langsung.
“Partisipasi warga desa dalam setiap tahapan adalah inti dari gerakan koperasi. Jika semua keputusan ditentukan oleh pejabat, konsultan, atau BUMN, maka koperasi hanya akan menjadi papan nama proyek negara,” ujarnya.
“Demokrasi ekonomi berarti keikutsertaan anggota dalam menentukan arah ekonomi mereka sendiri, bukan menjadi objek kebijakan,” tegasnya.
Selain demokrasi partisipatif, Mahyuddin menilai kekuatan utama koperasi terletak pada sistem joint procurement atau pengadaan kolektif. Melalui pembelian bersama dalam jumlah besar, koperasi dapat menekan harga, memastikan kualitas produk, menjaga stabilitas pasokan, sekaligus membangun posisi tawar yang kuat terhadap produsen besar.
Dalam konteks proyek KDMP, pendampingan kelembagaan dan pelatihan anggota harus berjalan beriringan dengan pembangunan fisik.
“Tanpa sumber daya manusia yang terdidik dan manajemen profesional, bangunan megah pun tidak akan menghasilkan manfaat,” ujar Muliono.
Untuk menopang skala nasional, permodalan KDMP dan KKMP dinilai tidak seharusnya hanya mengandalkan dana hibah atau bantuan proyek. Pemerintah dapat memanfaatkan mekanisme inbreng aset negara atau Penyertaan Modal Negara (PMN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998, disertai insentif fiskal bagi koperasi yang berorientasi sosial.
Namun demikian, menurut para penggerak koperasi, modal finansial bukanlah satu-satunya faktor utama. Modal sosial seperti kepercayaan anggota, solidaritas ekonomi, dan komitmen bersama justru menjadi penopang sejati keberhasilan koperasi.
“Negara boleh hadir, tetapi bukan untuk mengendalikan. Tugas negara adalah menciptakan regulasi yang mudah dan ekosistem yang kondusif agar koperasi tumbuh secara otonom,” tutup Muliono.












